Api menjilat kawasan Bromo pada 30 Agustus 2023 di Blok Bantengan, Desa Ranu Pani Kecamatan Senduro. Lalu cepat meluas setelah flare atau suar dari pengunjung yang melakukan aktivitas pemotretan prewedding membakar savanah di titik Watangan pada 6 September 2023 lalu. Api berhasil dipadamkan pada 14 September 2023. Kawasan savanah yang sebelumnya legam sudah menghijau sebulan kemudian setelah hujan rajin mengguyur Pegunungan Tengger. Pada 19 September 2023 Balai besar Taman Nasional Bromo Tengger membuka kembali Bromo untuk kunjungan wisata.
Tanah Hila-hila dan Pelestarian Kawasan
Masyarakat umum lebih mengenal Bromo daripada Tengger. Sebaliknya orang Tengger lebih mengenalnya sebagai Tengger. Bagi mereka Tengger lebih memiliki makna kultural. Sementara Bromo lebih lekat memiliki makna komersial. Demikian disampaikan Purnawan D. Negara, Pengajar di Fakultas Hukum Universits Widyagama Malang, sekaligus aktivis lingkungan yang bergabung di WALHI.
Tengger merupakan kawasan konservasi karena berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Kawasan ini memiliki nilai konservasi tinggi karena melekat di dalamnya antara nilai-nilai budaya masyarakat, dan keragaman hayatinya. Tak hanya itu, kawasan ini adalah kawasan dengan lekatan ecosocioreligiocultural. Artinya, dalam kawasan yang bertumpu pada ekologi ini di dalamnya ada kawasan sosial, religi, dan kultural yang menyatu.
Kawasan Tengger dengan dimensi ekologinya, tidak sekadar ekologi dengan makna apa adanya. Di sana terdapat kesadaran orang Tengger terhadap kawasan yang membentuk sebuah mitos Rara Anteng dan Joko Seger.
Dikisahkan pasangan ini ingin memiliki anak namun lama tidak dikabulkan dewata. Permohonan mereka dikabulkan dengan catatan, bahwa mereka harus menyerahkan anak bungsunya sebagai persembahan. Sampai memiliki 25 anak, mereka tak hendak menyerahkan anak bungsunya. Dewatapun akhirnya mengambil sendiri dan dibawa ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah itu muncul suara gaib, bahwa putra bungsu merasa tenang di puncak kawah Bromo. Untuk mengenangnya, dia meminta kepada saudara-saudaranya agar hasil ladang atau kebunnya dari tanah mereka untuk dilabuhkan sebagai persembahan ke kawah Bromo pada bulan Kasada.
Orang Tengger kemudian meyakini, bahwa anak bungsu Rara Anteng dan Joko Seger menempati kawasan puncak kawah Bromo. Sementara 24 saudaranya menempati tempat-tempat yang dipandang suci oleh orang Tengger yang berada di seluruh kawasan Tengger. Kawasan ini adalah titik paut antartitik atau antartempat suci yang membentuk garis magis dan dipandang orang Tengger sebagai tempat bersemayamnya 25 anak Rara Anteng dan Joko Seger. Sebuah kawasan yang diyakini diayomi oleh roh leluhur. Kawasan yang dikelilingi oleh garis magis ini memiliki luasan sekitar 600 km2 atau 58 ribu ha, dan masuk ke dalam TNBTS.
“Saya sudah mengonfirmasikannya ke mendiang Kepala Dukun Pak Mujiono,” kata Pupung, panggilan akrab Purnawan, yang berhasil mempertahankan disertasinya berjudul “Rekonstruksi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Tengger Berbasis Nilai Komunal Ekologis Dalam Perspektif Socia Legal” pada 30 Agustus 2014.
Bagi orang Tengger, kawasan yang merupakan pertautan garis magis tempat bersemayamnya roh leluhur membentang mulai dari wilayah Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, dan Malang. Penyebutan sebagai tanah hila-hila atau tanah suci berdasarkan pada prasasti Walandit yang ditemukan pada tahu 1880 di daerah Penanjakan Desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan. Prasasti tanpa tahun ini buat pada era Majapahit diperintah oleh Raja Hayam Wuruk.
Tanah suci atau tanah dewata yang mereka yakini itu lebih lekat dimanifestasikan pada lautan pasir kaldera Tengger. Mereka percaya, bahwa lautan pasir adalah tempat dimana roh leluhur menuju surga yang direpresentasikan oleh kawah Bromo. Sementara badan bersemayam ke dalam tanah Tengger. Keyakinan ini yang membuat masyarakat Tengger harus menjaga dan merawatnya.
Kata Tengger tidak sekadar berarti gabungan dari Rara Anteng dan Joko Seger, namun juga sebagai tengering budi luhur. Artinya mereka menjaga tanah hila-hila atau tempat suci itu dengan menjalankan perilaku keluhuran budi. Dengan mendasarkan pada hal inilah mereka merawat dan menjaga tanah hila-hila.
Budaya, Konservasi, Pariwisata: Perlunya Bersinergi
“Yang terjadi sekarang kawasan Tengger mengalami degradasi dari kawasan yang memiliki sarat makna menjadi kawasan yang cenderung komersial belaka. Kata Tengger hanya lekat dengan masyarakat Tengger dan dimensi budayanya saja. Sementara Bromo lebih pada komersial atau ekowisata,” kata Pupung.
Menurutnya, ekowisata yang dipraktikkan di Bromo sebenarnya tidak lebih sebagai ilusi ekologi. Mencoba mengemas sebuah kegiatan agar nampak berdimensi hijau, konservasi, dan berdimensi lingkungan. Namun sebetulnya hanya kemasan untuk menutupi dulangan laba. Apalagi sejak Bromo menjadi KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional), bentang alam dan kultural yang sudah cantik itu dipoles dengan bangunan dan atraksi yang artifisial. “Walaupun secara hukum benar, belum tentu benar secara moral,”pungkas Pupung.
Masifnya kunjungan wisata ke Bromo tak hanya mendatangkan keuntungan finansial bagi TNBTS dan pelaku usaha jasa wisata, namun juga beban ekologis bagi kawasan. Untuk mengatasinya pihak TNBTS melakukan sejumlah antisipasi.
Langkah tersebut adalah dengan melakukan pembatasan jumlah pengunjung sesuai daya tampung dan daya dukung. Pembatasan itu seperti di Bukit Cinta dibatasi 126 orang per hari. Bukit Kedaluh 401 orang per hari. Puncak Penanjakan 823 orang per hari. Mentigen 206 orang per hari Savana Teletubbies 1.196 orang per hari.
Selain itu pihak TNBTS melakukan edukasi pengunjung melalui pemasangan papan, atau rambu imbauan di sekitar lokasi wisata serta publikasi melalui website dan media sosial resmi TNBTS. Upaya lainnya adalah melakukan pembersihan kawasan secara rutin oleh TNBTS bersama mitra dan pelaku usaha jasa wisata. Terakhir adalah dengan melakukan pembinaan pelaku usaha jasa wisata alam juga rutin dilaksanakan agar penyelenggaraan pariwisata alam dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga tidak merusak lingkungan di sekitar kawasan wisata TNBTS. Demikian keterangan tertulis yang diberikan Endrip Wahyutama, Bagian Data, Evaluasi, Pelaporan, dan Kehumasan Pranata Hubungan Masyarakat Balai Besar TNBTS kepada hutanhijau.org
Saat kemarau, kawasan Tengger rawan terbakar. Apalagi dampak El Nino yang menyebabkan sengatan panas ekstrem membuat potensi kebakaran kian meningkat. Pihak TNBTS menduga penyebab kebakaran awal yang terjadi di Blok Bantengan akibat gesekan antarranting kering. Namun pada kebakaran yang terjadi di savanah titik Watangan jelas adalah ulah manusia.