Dibesarkan dengan nilai menghargai setiap suapan, Adie Wicaksono* percaya bahwa setiap keputusan kecil, seperti tidak menyisakan makanan, berdampak besar terhadap usaha kita menjaga keberlanjutan bumi.
Saya selalu menghabiskan makanan bukan semata karena rasanya, tapi karena nasihat Bapak yang tak pernah hilang dari ingatan. Saya terlahir di tahun 80-an dan dibesarkan pada era 90-an. Pada generasi saya, makan makanan enak selalu jadi harapan. Kami makan ayam hanya saat ada undangan kenduri. Begitu pula telur. Daging dikonsumsi sering kali hanya saat hari raya Qurban. Anjuran makan sehari tiga kali pun jarang sekali tercapai.
Saya yang tidak terlahir dari anak orang kaya, diajari orang tua untuk selalu menghabiskan makanan saya. Tidak boleh ada makanan tersisa. Pesan ini saya bawa sampai kuliah. Dimana harus tinggal jauh dari rumah di kota lain. Makanan tidak lagi selalu siap di meja makan. Sebagai anak kost, saya harus membeli makanan di warung karena tak sempat memasak.
Porsi anak kost terbilang besar. Sarat akan komposisi karbo. Soal rasa, nomor dua. Bagi kami penting untuk menjaga perut terasa kenyang. Meski makanannya memenuhi bidang piring, saya selalu menghabiskannya tanpa sisa. Ada nasihat orang tua yang selalu terngiang saat ada makanan belum saya habiskan.
Selepas kuliah, saya langsung diterima kerja. Dengan penghasilan saya, makanan tidak lagi jadi isu serius. Saya bisa membeli makanan yang saya suka. Tapi satu yang tidak berubah, tidak ada yang boleh tersisa. Bahkan saat kencan di Soehat (Jl Soekarno Hatta – Kota Malang, red), saya bertugas menghabiskan Tahu Tek pasangan yang tak habis dimakannya.
Pelajaran kecil menghabiskan makanan ini ternyata tidak sebatas masalah stok dan menjalankan keyakinan. Menyangkut juga dengan isu lingkungan. Mengutip Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia (2021), hasil riset kolaborasi Kementerian PPN/Bappenas dengan Waste4Change dan World Resource Institute yang dipublikasikan Katadata (2023), tiap tahun Indonesia menghasilkan jutaan ton sampah makanan.
Laporan tersebut mengategorikan sampah makanan menjadi dua jenis, yaitu food loss dan food waste. Definisinya food loss adalah pangan yang terbuang pada tahap produksi, pascapanen dan penyimpanan, serta pemrosesan dan pengemasan. Sedangkan food waste adalah pangan yang terbuang pada tahap distribusi dan pemasaran, serta sisa konsumsi.
Secara rinci laporan di atas menyebutkan bahwa sampah makanan Indonesia paling banyak berupa food waste dari tahap konsumsi, yakni bisa mencapai 19 juta ton per tahun. Dari tahap konsumsi ini, diestimasi sebesar 80% food waste berasal dari rumah tangga, dan sisanya sebesar 20% berasal dari sektor non-rumah tangga. Lebih detil lagi, sebesar 44% dari food waste yang ada merupakan sisa makanan yang layak makan.
Apabila dihitung secara ekonomi, menurut Kompas (2022) setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan setara Rp 2,1 juta pertahun. Atau nilai total sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun pertahun. Angka yang cukup fantastis karena setara dengan anggaran transfer pemerintah pusat ke daerah.
Selain menjadi inefisiensi secara ekonomi, sampah makanan juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk bagi lingkungan. Laporan tersebut menyebutkan sampah makanan diestimasikan sebesar 1.702,9 Mton CO2-setara dengan 7,29% rata-rata emisi gas rumah kaca di Indonesia selama 20 tahun.
Bila ditarik lagi ke belakang, penciptaan makanan juga berdampak pada lingkungan. Untuk menghasilkannya butuh sumber energi yang besar seperti minyak bumi. Penggunaan air bersih untuk pertanian dan peternakan, pemanfaatan lahan yang seharusnya sebagai keseimbangan alam, serta dampak negatif pupuk dan pestisida menjadi sebuah keharusan untuk menciptakan makanan. Goodstat (2023) mencatat produksi bahan makanan secara global menghasilkan 26% emisi karbon dan gas rumah kaca sebesar 13,7 miliar ton karbon dan gas rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global.
Hasil riset di atas menurut saya sungguh membuat perasaan tidak tenang. Apabila kebiasaan membuang makanan ini terus dilanjutkan, bagaimana nasib bumi kita beberapa tahun ke depan. Tahun 2023 telah tercatat menjadi tahun dengan suhu terpanas. Akankah tahun-tahun mendatang akan kita biarkan suhu bumi makin memanas?
Saya harap kita tidak membiarkannya. Awali dari diri sendiri untuk makan secukupnya hingga tanpa membuang sedikit pun. Berbagi dengan saudara juga jadi ide bagus. Bila terpaksa tidak bisa mencegah jadi sampah, coba olah. Jadikan kompos.
Setelah melihat ulasan ini, melihat sisi positif, atau jika Anda merasakan ketakutan dampak negatifnya, seperti halnya dengan yang saya rasakan, bagikan saja tulisan ini. Semoga orang-orang yang membaca tulisan ini juga tergerak untuk ikut dalam barisan aksi melindungi bumi.
*Adi Wicaksono, PNS di Pemkot Kediri