Sejumlah 6.000-an individu orangutan berlindung di atas kubah gambut gigantik berdiameter 12km, Taman Nasional Sebangau. Sebuah ekosistem rumit yang dibentuk oleh timbuhan vegetasi selama ribuan tahun, rusak oleh manusia dalam puluhan tahun, dan kini dalam proses memulihkan diri.
Jeki mematikan ces, perahu berbahan kayu rengas itu mengapung mengikuti arus kanal yang membelah Punggualas, salah satu resort Taman Nasional Sebangau, di Desa Karuing, Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Hening, yang terdengar hanya percikan air dari permukaan kanal. Sampai terdengar suara kerosak pepohonan.
Kami mendongak, sebuah keluarga kecil orangutan melintas di atas kami. Dua orangutan dewasa dan satu individu bocil yang mengikuti di belakang, sesekali menatap ke arah kami sambil makan manggis hutan yang sedang musim buah pada Februari-Maret.
“Kali ini kita beruntung. Kita bertemu orangutan,” kata Jeki, Ketua Simpul Wisata Kamipang, pengelola Ekowisata Punggualas sekaligus pemandu kami. Bertemu orangutan (Pongo pygmaeus) liar menjadi daya tarik utama dari TN Sebangau, khususnya Punggualas. Nama punggualas pun berarti pepohonan yang dipenuhi orangutan.
Meski jumlahnya diperkirakan mencapai 6.000 individu (hasil monitoring TN Sebangau dan NGO, 2016), 40-60 ekor berada di Punggualas, pengunjung belum tentu bisa bertemu langsung. Butuh keberuntungan dan membaca pola untuk bisa berada di satu titik yang sama, antara pengunjung dan orangutan di kawasan seluas 1.176ha dari keseluruhan luas TN Sebangau, 568.700ha.
Menurut Jeki, tim pemandu memang sudah menandai sarang dan kebiasaan orangutan. Di sepanjang sungai menuju Danau Hitam, terdapat beberapa sarang. Pun biasanya mereka akan melintasi kanal melalui pucuk pepohonan pada pagi dan sore hari. Namun, sekali lagi, kita tidak bisa janjian dengan orangutan untuk bertemu. Jika bertemu, anggap saja bonus. Selebihnya, datang ke Punggualas adalah membaca kronik ekosistem rumit dari kubah gambut gigantik yang tersisa di Kalimantan Tengah.
Raksasa yang Terluka
Perjalanan menuju Punggualas dimulai dengan perjalanan darat selama 2,5 jam dari Kota Palangkaraya menuju Dermaga Desa Jahanjang, Kecamatan Kamipang. Kemudian dilanjutkan dengan ces menuju Punggualas sekitar 1 jam melalui Sungai Katingan. Ketika ces berbelok dari Sungai Katingan, menuju Sungai Punggualas, air yang tadinya cokelat keruh menjadi hitam bening. Air berwarna keemasan bila terkena sinar matahari. Demikian warna air rawa gambut yang mengandung tanin dan bahan organik lainnya. Bila dicecap, tidak ada rasanya. Pun nanti, bila Anda menginap di cottage, air itulah yang digunakan untuk MCK. Meski sifat fisiknya berwarna, percayalah, air itu tetap segar untuk mandi. Tak meninggalkan bekas di kulit dan baju.
Semakin ke dalam, vegetasi makin rapat dan tampak misterius. Seekor viper hijau kalimantan (Tropidolaemus subbannulatus) dengan ekor menggembung usai menangkap mangsa terdiam di pinggir sungai. Ular yang betah di posisi yang sama persis hingga berminggu-minggu dan kategori sangat berbisa. Pun kita bisa menemukan burung kipasan belang (Rhipidura javanica) dengan sarang kerucut menggantung di ranting yang menjorok ke jalur sungai.
Sejauh mata memandang, tetumbuhan muncul dari permukaan air hitam. Sekilas, hanya ada satu jenis tumbuhan sebab didominasi daun yang seragam bentuknya, lanset. Namun bila diteliti lebih jauh, tiap tumbuhan berbeda-beda. Menurut catatan di buku Titik Balik Sebangau karya Noviyanti Nugraheni (2017) yang ditebitkan TN Sebangau dan NGO, TN Sebangau memiliki 808 jenis pohon dari 4 keluarga yaitu Dipterocarpaceae, Clusiaceae, Myrtaceae, dan Sapoataceae. Di Punggualas, beberapa jenis Myrtaceae (keluarga jambu-jambuan) banyak menjatuhkan buahnya hingga mengapung membentuk lapisan putih di permukaan air.
Daulat pohon pernah menguasai kawasan Punggualas. Dalam ingatan Jeki, pepohonan diameter setengah meter itu masih kecil. Mulai tahun 1970-an, HPH mengambil sebagian besar pohon-pohon besar tersebut. Hingga tahun 2006, pohon diameter di atas setengah meter pun habis. Bahkan pohon dengan dimeter 20cm pun ditebang. Penebangan mulai berkurang dan dilarang ketika ditunjuk menjadi kawasan taman nasional pada tahun 2004.
“Nah waktu itu juga masyarakatnya pro kontra kan karena ya masyarakat lokal aktivitasnya kan illegal logging gitu,” kata Jeki. Konflik dengan masyarakat terus terjadi seiring ditetapkannya kawasan taman nasional
Di tempat terpisah, kami juga mewawancarai Ruswanto, Kepala Balai Taman Nasional Sebangau. Menurutnya, tekanan terhadap ekosistem rawa gambut Sebangau bukan hanya penebangan pohon, namun juga pembuatan kanal. Sejumlah 82% luas kawasan taman nasional berupa lahan gambut.
“Mempertahankan gambut ini cukup sulit. Sifatnya yang spons ini, kalau pas kering mudah terbakar, kalau pas musim hujan gini mudah banjir,” kata Ruswanto.
Seiring dengan HPH, dibuatlah kanal untuk mengangkut kayu. Kanal semakin panjang dibuat ketika ada Program Gambut Sejuta Hektar pada akhir tahun 1995. Kanal-kanal inilah yang menjadikan kawasan kubah gambut “bocor”. Air dari dalam kawasan keluar menjadi banjir saat musim hujan, dan habis ketika musim kemarau sehingga terjadi kebakaran hutan.
Kubah gambut ini terbentuk dari timbunan material organik di antara dua sungai besar yaitu Sungai Katingan dan Sungai Sebangau selama ribuan tahun. Air dari hujan mengalir dari hulu ke dua sungai ini lalu memegang peran penting dalam siklus hidrologi Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Katingan, dan Kota Palangkaraya.
Masyarakat merasakan dampak buruk akibat rusaknya kubah gambut Sebangau. Jeki mengisahkan, dulu ketika hutan masih bagus, musim kemarau maupun penghujan adalah berkah bagi Punggualas. Mulai tahun 2020-an, bila penghujan menjadi banjir. Rumah warga terendam jika musim penghujan tiba. Dulu, tinggi lantai rumah panggung di sepanjang Sungai Sebangau tak lebih hanya 1m. Kini, di atas 10m agar tak terendam saat banjir.


Biasanya, luapan sungai hanya 10-15 hari saja sudah surut, kini bisa sampai 2-3 bulan, desa masih terendam. Sedangkan musim kemarau pun terlalu panjang sehingga tak bisa bertanam. Kini sebagian besar warga tidak lagi menjadi petani namun memilih menjadi buruh tambang atau merantau ke kota. Beberapa memilih menggantungkan nasib pada Sungai Katingan, menjadi nelayan.
Jeki adalah satu di antara beberapa orang yang memilih untuk tinggal di desa dan melakukan apa saja untuk bertahan hidup.
Ramalan Tambang Emas di Punggualas
Penunjukan kawasan TN Sebangau terus menuai pro dan kontra. Tak hanya karena masyarakat yang tadinya menggantungkan hidupnya dari pengambilan kayu di hutan, tapi juga ada ramalan bahwa ada tambang emas di Punggualas.
“Ada semacam ramalan gitu yang turun menurun itu diceritakan terus itu.Ada tambang emas yang besar. Cuma untuk mengambil emas itu, cerita orang ada tumbal-tumbal segala macam gitu. Katanya yang ditumbal itu orang-orang kulit putih,” kata Jeki.
Seiring berjalannya waktu, Jeki dan Suku Dayak yang dulu bergantung pada hutan Punggualas paham bahwa emas yang dimaksud leluhurnya adalah kiasan. Emas sesungguhnya tak perlu digali, hanya perlu dijaga yaitu hutan itu sendiri.
Jeki memulai mendapat rezeki dari kelestarian hutan ketika direkrut sebuah NGO di Kalteng untuk menjadi tim riset sejak tahun 2002. Dari sanalah ia terlatih menjadi guide, interpreter, hingga lahirlah wisata minat khusus ke Punggualas.


Hidangan Khas Dayak
Jauh dari hiruk pikuk teknologi, tanpa sinyal, yang ada hanya suara hutan mangrove yang dihasilkan oleh burung, aneka jenis kera dan monyet, hingga kodok yang riuh sepanjang malam sehabis hujan adalah kemewahan yang ditawarkan oleh Punggualas.
Paket wisata yang ditawarkan yaitu trekking di hutan gambut untuk melihat burung (birdwatching). Sedangkan bertemu orangutan adalah bonus. Tawaran kedua yaitu susur sungai hingga ke Danau Hitam.
Tahun 2015, paket wisata Punggualas mulai dibuka. Pada saat awal dibuka, masih sangat sedikit pengunjungnya. Tahun 2018 mulai meningkat. Bila dilihat dari buku tamu, pengunjung berasal dari 20 negara dan terus bertambah. Namun pengunjung kembali redup bahkan tak ada sama sekali ketika Covid tahun 2020. Setelah Covid, mulai bangkit lagi meski belum seperti saat dibuka.

Hal yang tak kalah penting, kuliner khas Dayak yang dihidangkan oleh Dahliawati, istri Jeki. Resep dan pengetahuan turun temurun dalam memasak menghadirkan hidangan yang tak terlupakan rasanya. Semua diambil dari alam.
“Di sini itu memang masyarakat di Desa Keruing ini memang sering cari sayur yang itu untuk manfaat sayuran di sini,” kata Dahlia. Mulai dari tumis daun bajei (Diplazium esculentum)-jenis paku-pakuan, dan kalakai (Stenochlaena palustris)-jenis paku-pakuan, umbut rotan (Calamus)-pucuk rotan, hingga ikan saluang (Rasbora). Hidangan ini menjadi kekhasan dari Wisata Punggualas.
“Kami punya harapan besar sebenarnya. Tempat kita yang terpencil gitu kan ada potensi yang besar itu yang bisa kita angkat sama-sama,” harap Jeki.