Menjelang siang, para peserta Lokakarya Penyusunan Protokol Reintroduksi Murai Maratua (Copsychus barbaori) di Habitat Alaminya menuju lokasi PCBA (Prigen Conservation Breeding Ark). Lokasinya berada di sebuah petak seluas empat hektare di areal Taman Safari Indonesia Prigen. Untuk menuju ke sana melewati rute khusus yang berbeda dengan rute yang biasa dilalui atau disediakan bagi wisatawan yang berkunjung ke taman safari.
Lembaga yang didirikan pada tahun 2017 lalu itu lahir dari gagasan dan kerjasama antara Taman Safari Indonesia, Yayasan KASI (Konservasi Alam Satwa Indonesia), ZGAP, Voegelpark Marlow, dan lembaga internasional lainnya yang memiliki tujuan yang sama dalam melestarikan spesies satwa yang terancam punah di Indonesia.
Awalnya, PCBA berfokus pada spesies burung berkicau dan babi kutil. Namun seiring dengan bertambahnya jumlah spesies yang terancam punah, jumlah spesies yang menjadi fokus juga semakin bertambah. Diantaranya adalah paruh bengkok. galliformes, dan ikan.
Jochen K. Menner dari PCBA yang bertindak sebagai pemandu, membawa rombongan peserta memasuki sejumlah kandang yang berada pada bangunan-bangunan terpisah. Ikut serta dalam kunjungan ini Nunu Anugerah, S,Hut., M.Sc Kepala Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik (KKHSG) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Rombongan berhenti agak lama di bangunan penangkaran yang di dalamnya hanya berisi satu spesies burung, yakni Murai Maratua (Copsychus barbaori). Bangunan ini didirikan dengan jarak yang relatif jauh dari bangunan kandang lainnya, agar Murai Maratua tidak menirukan suara burung lainnya. Sebagai burung berkicau, burung ini dikenal pandai menirukan suara burung lain sejauh dalam jangkauan pendengarannya. Introduksi atau pelepasliaran burung ini yang akan menjadi bahasan dalam lokakarya.

Lokakarya ini diselenggarakan oleh Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik (KKHSG) didukung Taman Safari Indonesia Prigen dan KASI. Diselenggarakan selama dua hari 6-7 Mei 2023 bertempat di Baobab Safari Resort Prigen. Peserta datang dari berbagai kalangan seperti akademisi, pelaku wisata(PHRI), FOKSI, penghobi burung, sejumlah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup atau pelestari satwa. Hadir juga dari pihak KSDA dan Taman Nasional seperti TN Alas Purwo, TN Kutai, Pemerintah Kecamatan Maratua dll.
Mengapa Murai Maratua ?
Murai Maratua itu salah satu burung berkicau yang sedang ramai dibahas di internasional. “Indonesia selalu dikritik karena memanfaatkan jenis murai untuk perlombaan-perlombaan burung berkicau,” terang Tony Sumampau. Pendiri PCBA ini menambahkan, bahwa akibat perburuan, burung berkicau besar dengan penampilan yang bagus itu punah di alam. Tidak dijumpai juga di dalam penangkaran masyarakat pelomba burung, karena mereka sudah melakukan kawin silang demi untuk mendapatkan suara kicauan yang bagus.
Selain Murai dubur putih (Copsychus nigricauda), Murai Maratua adalah spesies yang punah, kemungkinan punah atau punah di alam liar. Sementara Murai larwo (Copsychus omissus) spesies terancam punah. Menyusutnya spesies tersebut di alam disebabkan sejumlah hal diantaranya adalah meningkatnya tren di masyarakat memelihara burung dalam sangkar. Maraknya kontes lomba burung berkicau dengan jumlah perputaran uang yang menggiurkan, tak ayal memicu perburuan murai di habitat alaminya. Tak sebatas itu, untuk mendapatkan suara yang lebih bagus, dilakukan kawin silang sehingga menghasilkan individu yang sama sekali mengabaikan kemurnian genetik.

Permintaan pasar atas Murai Maratua mulai meningkat sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2017. Satu individu dijual dengan harga antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu perekor. Angka yang menggiurkan bagi pemburu. Tak hanya bagi pemburu lokal, namun pemburu dari luar pun merangsek masuk ke kawasan hutan maratua. Dalam sekali perburuan mereka bisa mendapatkan 5 sampai 14 ekor.
Pulau Maratua, lokasi reintroduksi
Habitat Murai Maratua tercatat di sejumlah tempat seperti Kampung Bohe Silian, tong duata, Kampung Payung-Payung, bullud pote, Kampung Teluk Harapan, gunung roa-roa, Kampung Teluk Alulu, kamagi, Kampung Teluk Alulu, lilang. Tim PCBA dalam paparannya menyampaikan, saat melakukan amatan langsung di Maratua mendapatkan informasi, bahwa pada tahun 2023 dan 2024 masyarakat setempat masih menemukan Murai Maratua di kawasan hutan.
Pulau Maratua memiliki luas 384,36 km persegi dengan ketinggian 0 sampai 109,8 meter di atas permukaan laut. Berjarak 50 km dari Pulau Kalimantan, dan tidak pernah menjadi bagian dari Kalimantan sekalipun pada masa Pleistocene. Terpisah juga dengan Paparan Sunda. Dari sini, Murai Maratua berasal. Menghuni kawasan hutan dengan tegakan pohon tinggi.
Prof. Dewi Prawiradilaga dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN memapaparkan, bahwa seperti halnya jenis burung lain dalam suku/famili Muscicapidae, pakan utama Murai Maratua berupa invertebrate atau serangga, laba-laba, cacing dan buah-buahan kecil.
Menurutnya, perilaku Murai Maratua mirip dengan Murai atau Kucica hutan (Copsychus malabaricus) seperti: mampu terbang dalam jarak jauh, tidak hidup berkelompok, pada musim berbiak jantan agresif terhadap betina dan pada sesama jantan. Selain itu, burung jantan dengan sistem berbiak monogami ini pada waktu berbiak mempertahankan teritori.
Untuk perilaku yang bisa diturunkan (stereotype behaviour) ada kemungkinan burung liar memiliki perilaku yang sama. Tetapi untuk perilaku yang bersifat adaptif dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kemungkinan tidak sama dengan dengan perilaku nenek moyang. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah tersendiri jika Murai Maratau dari exsitu diintroduksi ke habitat alaminya.

Menjawab kekhawatiran ini, Jochen K. Menner kepada hutanhijau mengatakan, bahwa kemungkinan besar perilaku yang sangat dipengaruhi oleh kondisi exsitu akhirnya juga mempengaruhi kemampuan bertahan hidup di insitu atau habitat alami. Itu sebabnya pihaknya memastikan perilaku murai maratua dikondisikan sesuai dengan kebutuhan kehidupan di habitat alaminya.
“Kami pastikan semua burung yang akan dikirim dirawat oleh indukan, bukan diloloh oleh keeper. Juga kita siapkan kandang yang mendukung perilaku alami biar burungnya disiapkan sebelum dikirim ke habitat alami. Persiapan individu untuk pelepasliaran sudah cukup bagus,” katanya.
Dari 8 individu yang terdiri dari 3 jantan dan 5 betina, saat ini di PCBA, tempat pembiakan exsitu satu-satunya yang ada di Indonesia, berhasil membangun satu komunitas sebanyak 65 individu. Sekitar 20 ekor sudah siap untuk dilepasliarkan.
Tantangan terbesar
Ria Saryanthi dari Burung Indonesia menyampaikan kepada hutanhijau, bahwa tantangan terbesar dari reintrokduksi adalah pada saat pelaksanaan dan pada pasca reintroduksi. Dia melihat sejauh ini baik pada pra dan penyusunan protokol pelepasliaran mendapatkan dukungan dari banyak pihak.
Menurutnya, perlu monitoring terhadap individu yang dilepasliarkan supaya lebih berhasil dalam beradaptasi sehingga bisa hidup di alam liar. Juga diperlukan komunikasi yang berkesinambungan dengan elemen masyarakat dan pemerintahan yang ada di Maratua. “Dari pengalaman kami, yang terpenting adalah menjaga komunikasi yang baik dengan para pihak, dan juga proses-proses penyadartahuan dan sosialisasi. Itu adalah kunci,” kata Yanti.
Draft Protokol Reintroduksi Murai Maratua (Copsychus barbaori) di Habitat Alaminya mencantumkan bahwa yang akan dilepasliarkan sedikitnya 6 pasang. Individu itu akan dilepaskan menjelang musim hujan dengan dukungan diantaranya sejumlah kandang yang mendukung kemampuan hidup di habitat alaminya. Termasuk ancaman dari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
“Kita akan lihat dulu apakah di sana berkembang baik. Kalau berkembang baik ya semuanya kita balikin,” kata Tony Sumampau. Namun, di exsitu keberadaannya tetap diperlukan agar bisa terus dikembangkan dan sebagai persediaan yang kedepannya bisa dilepasliarkan lagi.