Tanggung jawab menjaga lingkungan dan planet bumi adalah tanggung jawab semua penghuni. Musik menjadi sarana menyuaran isu lingkungan dengan cara artistik dan menyentuh semua kalangan.
“Aku bukan musisi yang bikin lagu tentang alam. Aku meliat isu ini bukan isu yang terlalu besar, tapi ini isu rumah. Setelah tahu tentang perubahan iklim, bukan lagi depresi tapi rasanya hancur,” kata Petra Sihombing. Yang dimaksud bukan isu yang terlalu besar bagi Petra adalah isu yang jauh, yang tak terjangkau. Kenyataannya, isu perubahan iklim adalah “isu rumah”, isu yang sangat dekat dengan keseharian.
Ia mencontohkan, ketika bumi semakin panas karena efek rumah kaca, yang kita rasakan adalah kita kegerahan meski sudah ada AC. Dampak kecil dan langsung yang dirasakan oleh warga urban yang memerhatikan perubahan namun belum banyak yang menyadari bahwa kegerahan ini karena perubahan iklim.

“Masalah (perubahan iklim) yang sangat komplek dan sangat riil. Tapi juga sangat tersembunyi karena tidak banyak yang memaparkan dan tidak banyak juga yang mau mendengarkan dengan seksama,” tambah Iga Massardi.
Kisah di atas adalah kisah para musisi ketika bersentuhan dengan isu perubahan iklim yang disampaikan menjelang gelaran Sonic/Panic Jakarta, Sabtu, 22 Februari 2025 di Mbloc Space, Jakarta. Sonic/Panic. Kali ini mengusung tema Hutan Punah, Kota Musnah. Tema hutan hanya salah satu tema, di atas panggung dan lagu-lagunya menyuarakan isu lingkungan secara umum.
Sonic/Panic merupakan album kompilasi multi-genre yang menghadirkan warna suara kaya dari hip-hop, rock, blues, elektronika, reggae, pop, hingga world music. Disatukan oleh satu fokus utama, panggilan mendesak untuk aksi iklim, album ini menjadi platform bagi musisi untuk menyuarakan keresahan dan harapan mereka terhadap masa depan bumi. Album Sonic/Panic dirilis pada tahun 2023 dengan 13 musisi yang terlibat dan Sonic/Panic Vol.2 pada tahun 2024 dengan 15 musisi yang turut berkontribusi dalam gerakan ini.

IKLIM, Musik untuk Menyuarakan Kerusakan Lingkungan
Sonic/Panic Jakarta merupakan pentas musik yang diinisiasi oleh IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab) bekerjasama dengan M Bloc Entertainment. Pentas ini dihadiri 500 penonton dan menampilkan musisi-musisi seperti Efek Rumah Kaca ft. Adrian Yunan, Barasuara, Endah N Rhesa, Voice of Baceprot, Navicula, REP & Tuantigabelas, Matter Mos, Petra Sihombing, Made Mawut, dan Bachoxs.
“Kambalikan seni pada fungsinya. Fine art. Seni bukan hanya tentang keindahan tapi juga menjadi sarana pembelajaran,” kata Gede Robi Supriyanto, vokalis dan gitaris Navicula, salah satu inisiator IKLIM.
Menurut Robi, sejak tahun 2008, kepedulian masyarakat khususnya seniman terhadap isu lingkungan semakin meningkat. IKLIM merupakan salah satu wujud kepedulian dari para musisi untuk menyurakan tentang kerusakan lingkungan, minimal dari lingkungan musisi. Mereka berkolaborasi membuat syair bertemakan lingkungan, menyuarakan kegelisahan mereka tentang kerusakan lingkungan dan krisis akibat perubahan iklim yang makin lama makin mencemaskan.

“Kami para musisi di sini tidak lebih ahli dari kalian. Kami sama-sama belajar karena isu lingkungan ini sangat besar cakupannya,” tambah Robi.
Sebagaimana diakui oleh Petra dan Iga, sebelumnya ia tidak terlalu menaruh perhatian pada isu ini. Ketika bergabung dengan IKLIM dan ikut membuat Sonic/Panic, semakin ia peduli.
“Panas sampai 5 hari, wah ini udah ngga ada harapan,” kata Petra ketika awal mempelajari tentang kerusakan lingkungan.
Iga menambahkan, kepedulian itu akhirnya tumbuh. Ketika ia membuang sampah plastik, meski sudah menghilang dari hadapan tapi tidak lantas musnah. Plastik itu tidak terurai selama puluhan tahun dan bisa berakhir di laut menjadi polutan.
“Kadang dari hal sederhana. Gue pernah lihat konser di luar negeri, kalau bersih kok enak ya,” kata Petra. Venue konser yang bersih artinya manajemen sampahnya bagus. Ke depannya, kesadaran untuk mengurangi sampah dari para penonton lebih meningkat.



