Hutan tak hanya tentang flora fauna, tapi juga tentang manusia dan tentang pemaknaan pada yang tak kasatmata. Desa ramah satwa Tahawa adalah konsep berbagi ruang dalam satu relung ekologi. Targetnya, relasi manusia dan satwa liar menjadi dekat meski tak rekat. Masing-masing hidup dengan cara naturalnya hingga tak ada konflik lagi.
Hari Minggu pagi (18/02/2024), Bundaran Besar Palangkaraya ramai. Orang-orang berolahraga, bersantai, berlibur. Sekitar 100m dari suasana liburan itu, Sadtata Noor Adirahmanta, Kepala BKSDA Kalimantan Tengah membuka pintu kantornya. Ia melakukan koordinasi dengan beberapa staf.
“Permasalahan (konservasi) tidak mengenal hari libur,” katanya kepada tim Hutan Hijau. Hari itu, Tim Ekspedisi Hutan Hijau 1.0 diajak untuk pelepasan kukang.
Ketika tim masih persiapan, sebuah mobil Damkar dari Tim Reaksi Cepat memasuki kantor. Empat orang petugas mengeluarkan kerangkeng besi berisi monyet ekor panjang (Macacca fascicularis). Permasalahan konservasi memang tak mengenal hari libur.
“Ini masuk ke area pemukiman dan meresahkan,” kata Sucipta, Tim Reaksi Cepat, melaporkan kepada Sadtata. Bila warga resah, monyet itu terancam dicelakai. Setelah didata, monyet tersebut akan dilepasliarkan bersama kukang.
Kantor BKSDA Kalteng seolah menjadi alamat bagi satwa liar yang salah alamat. Monyet yang masuk ke permukiman, beruang madu di pasar gelap, kukang yang bosan dipelihara oleh (konon) pecinta satwa, orangutan, trenggiling, dan lain-lain.
“Kalau akhirnya bosan dan kerepotan, kenapa dulu harus memelihara satwa liar? Biarkan mereka hidup bebas di habitatnya,” imbau Sadtata. Bukankah mencintai satwa tak berarti harus memiliki? Bukankah mencintai artinya membebaskan, bukan mengekang dalam kandang?
Satwa liar berbeda dengan satwa peliharaan (pet) yang bisa dimiliki dan tinggal di rumah. Satwa liar memiliki home range (area jelajah) dan daya jelajah yang tak bisa dicukupi hanya dalam kandang. Kukang yang diserahkan warga tersebut misalnya, sifat liarnya masih menyertai. Rumah satwa liar adalah hutan. Jika diserahkan ke BKSDA, tempat ini hanyalah tempat transit. Tujuan akhirnya tetap akan dikembalikan ke hutan. Kali ini, rumah baru itu adalah Desa Ramah Satwa Tahawa, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau.
Relasi Mesra antara Manusia dan Satwa
Iring-iringan mobil dengan kecepatan tinggi itu menuju Tahawa. Paling depan, mobil double cabin yang dipimpin Sadtata dan kandang besi berisi monyet ada di bak belakang yang ditutupi dengan dedauan. Sementara kukang diletakkan di bagian kabin yang ber-AC, mobil lainnya. Perjalananan yang kerap kali menghajar lubang dan kelokan itu berlangsung selama 1,5 jam, sekitar 98km dari pusat Kota Palangka Raya. Kecepatan tinggi dibutuhkan agar satwa tidak stres karena terlalu lama di jalan.

Sampai di lokasi, petugas segera membawa dua kandang tersebut masuk ke dalam hutan melalui jalur trekking sepanjang 3km. Sampai di tempat nyaman untuk satwa, pintu kandang dibuka. Monyet segera melompat dan menghilang. Sementara kukang membutuhkan waktu untuk merangkak keluar, pelan dan akhirnya menyatu dengan lebatnya hutan.
Meski namanya desa, namun lokasi pelepasliaran tersebut bukan berada di permukiman melainkan di hutan desa seluas 998 ha. Kawasan hutan yang dikelola oleh LPHD (Lembaga Pengelolaan Hutan Desa) Tahawa ini mendapatkan izin pengelolaan dengan skema Perhutanan Sosial pada tahun 2020. Sedangkan kawasan permukiman terletak 3km dari hutan desa tersebut.
“Ke depan kita harus membangun mindset masyarakat, bahwa suatu saat akan tiba waktunya kita harus siap hidup berdampingan dengan satwa (liar-red),” kata Sadtata.
Konsep desa ramah satwa yang diinisasi Sadtata dan tim BKSDA Kalteng adalah membiasakan masyarakat hidup berdampingan dengan satwa liar di habitat alamnya. Misalnya, kelak masyarakat akan terbiasa melihat orangutan bersarang, ular melintas, kukang mencari makan dan satwa liar lainnya. Pun satwa liar tidak lagi takut dengan manusia sebab manusia bukan sebagai ancaman bagi kehidupan mereka. Berbagi ruang ekologi (niche) tanpa saling mengganggu.
Desa ramah satwa merupakan konsep ekopopulisme dengan mengambil jalan tengah antara kebutuhan habitat alami satwa dan keberadaan manusia, tanpa mengorbankan salah satunya. Populasi manusia bertambah, membutuhkan ruang hidup lebih luas. Alih fungsi lahan menjadikan satwa liar pun kehilangan rumahnya. Desa ramah satwa menjembatani dua kepentingan tersebut. Sebenarnya, di beberapa tempat di Indonesia sudah ada yang memulai. Misalnya desa ramah burung di Jatimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta dan desa ramah owa Petungkriyono di Pekalongan. Namun untuk desa ramah satwa, dalam hal ini satwa liar, baru pertama kali di Tahawa ini.
Kawasan Hutan Desa Tahawa secara administrasi merupakan kawasan di bawah pemangkuan Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng. Hak pengelolaan berada di LPHD Tahawa. Sedangkan satwa liar yang dilepas merupakan tanggung jawab BKSDA Kalteng. Sinergi 3 pemangku kepentingan inilah menjadikan konsep desa ramah satwa terwujud.
“Luas Provinsi Kalteng sekitar 15 juta hektar sekian. Nah, kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi itu kan tidak lebih dari sepertiganya dari luas provinsi. Kita bisa bayangkan, betapa tidak cukupnya seandainya semua satwa liar yang ada di Kalteng harus dikumpulkan di dalam kawasan konservasi,” jelas Sadtata.
Ia mengatakan, selama ini ketika masyarakat bertemu satwa liar di pemukiman, ditangkap, lalu diserahkan ke BKSDA. Satwa yang masuk ke area permukiman karena habitatnya sudah tergusur untuk habitat manusia dan tidak ramah bagi satwa di BKSDA ditampung sementara dan untuk selanjutnya dilepasliarkan kembali.
Sadtata mengingat beberapa peristiwa lucu dari semangat masyarakat menyerahkan satwa liar ke BKSDA. Di sisi lain, ia memberikan apresiasi pada kesigapan warga. Saking semangatnya, warga menangkap buaya di muara sungai dan diserahkan ke BKSDA.
“Bukankah buaya memang habitatnya ya di muara? Hal-hal ini yang perlu kita edukasi. Harapan saya, suatu hari, tidak ada lagi satwa yang ditampung di BKSDA. Artinya, kita sukses,” tambahnya.
Maksudnya, ketika tidak ada lagi kasus satwa liar yang ditangkap dan mereka bisa hidup di habitat alamnya. Kelak, kemunculan satwa liar bukan lagi dianggap sebagai konflik namun menjadi peristiwa biasa sebab tidak ada yang merasa terganggu.
Legenda Cinta Perempuan yang Tak Rupawan
“Sosialisasi konsep desa ramah satwa di hutan desa, sampai dengan saat ini berjalan dengan sangat mulus,” kata Sadtata.
Pada awalnya, tim BKSDA berkomunikasi dengan LPHD dan masyarakat soal ide desa ramah satwa. Rupanya ide ini disambut baik oleh masyarakat Desa Tahawa yang sudah memiliki pemikiran senada.
“Masyarakat Tahawa sudah biasa melihat satwa, tidak bermasalah melihat satwa sehingga saat Pak Tata punya ide menetapkan desa ramah satwa, kami setuju,” kata Tugas B. Sia, Ketua LPHD Tahawa.
Pertemuan dengan satwa liar adalah keseharian warga Desa Tahawa. Misalnya ada beruang yang singgah di teras, makan buah nangka yang tergeletak usai dipanen, warga membiarkan sampai beruang tersebut pergi lagi. Kedekatan masyarakat Dayak dengan satwa dan hutan merupakan narasi nenek moyang mereka. Hutanlah yang melahirkan peradaban Dayak. Peradaban yang tak hanya tentang kisah manusia, tetapi juga kisah pepohonan, satwa, dan penghuni yang tak kasatmata.
“Ini penghargaan lah kepada alam lingkungan dan sekitar kita. Jadi kita tidak hanya menjaga hutan dan satwa. Tetapi (juga menjaga) apa yang ada di lingkungan ini harus kita jaga kebersamaan supaya hatinya tidak saling mengganggu. Seperti itulah tujuan dari karamat,” terang Tugas sambil menunjukkan sebuah komplek yang disakralkan.
Sebuah rumah panggung mungil berhias ukiran khas dayak dengan altar dari papan kayu. Di bagian depan terdapat tulisan tangan tak presisi namun ditulis dengan hati tereja: Ijin Ruh, Pangeran Nata, Selong. Tulisan tangan sederhana inilah sebagai semesta penghubung antara Tugas dan segenap warga Tahawa dengan leluhur mereka jauh sebelum angka tahun.
Sebuah kisah cinta yang tak lagi perkara rupa ketika seorang pangeran tampan jatuh cinta pada perempuan tua dan menikah di Hutan Tahawa.
“Ninik Selong itu tambi balu atau nenek janda. Pangeran Nata itu pangeran ganteng, nenek kami sudah peot. Mereka menikah di alam gaib,” kata Tugas seperti mengisahkan peristiwa yang baru terjadi kemarin.

Menurut Tugas, Ninik Selong, seorang tabib yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit, telah lanjut usia. Diperkirakan mendekati 100 tahun dan tak mampu lagi berjalan jauh. Sepanjang hari lebih banyak dihabiskan di tempat tidur. Pada suatu hari, Ninik Selong menghilang. Hebohlah desa itu. Warga mencari ke segenap penjuru, tak ditemukan.
Sampai 3 hari kemudian, Ninik Selong sudah berada di teras dalam kondisi sehat. Ninik Selong mengatakan pada anak-anaknya, jika tiba-tiba ia tak ada, tidak perlu dicari. Ia sedang bertemu dengan kekasihnya, Pangeran Nata. Berkali-kali demikian sampai akhirnya Ninik Selong tak pernah kembali lagi setelah Pangeran Nata menampakkan diri untuk menjemput pengantin perempuannya.
“Pangeran Nata dari Hulu Sahai, turun dan menampakkan diri. Ia menikahi Ninik Selong bukan di alam nyata, menjadikan istrinya,” terang Tugas. Setelah menikah, Ninik Selong tidak pernah kembali lagi. Menurut keyakinan leluhur warga Tahawa, Ninik Selong dan Pangeran Nata sudah menetap di Hulu Sahai.
“Di sini, di karamat ini yang kami bangun dengan dana kami sendiri,” tambah Tugas.
Sepetak tanah yang dikeramatkan oleh Suku Dayak itu memiliki kekuatan magis bagi Tugas. Ketika ia mengajak Tim Hutan Hijau untuk mendekat, seluruh badannya merinding. Ada koneksi yang tak semua bisa memahami. Termasuk kisah nama ke-3 selain Ninik Selong dan Pangeran Nata yang tertulis di keramat tersebut, Ijin Ruh.
“Ini Datuk kami. Waktu zaman penjajahan, beliau ini meninggal. Begitu anak cucunya mau mengangkat tulangnya, mereka mendapat pesan bahwa tidak usah di-tiwah (digali-red), karena saya tidak ada lagi di kuburan,” kata Tugas memelankan suaranya. Lanjutnya, ketika kuburan Sang Datuk digali, tulangnya tak ada sedikit pun. Petinya kosong. Dia menjelma jin yang tinggal di keramat itu.
Kejadian magis lainnya adalah pengalaman personal Tugas. Ketika Dinas Pariwisata Prov. Kalteng berkunjung ke Hutan Tahawa untuk survei, tiba-tiba hutan itu diliputi mendung pekat dan angin kencang. Dalam pemaknaan Tugas, para leluhur tak ingin wilayah hutannya diusik.
“Saya kemudian mengambil dedaunan sambil saya katakan bahwa kami anak cucu Datuk berniat melindungi hutan agar memberi lebih banyak manfaat. Tidak berapa lama, mendung pun hilang,” tuturnya.
Kelindan antara asa dan legenda mampu memberi spirit masyarakat Tahawa untuk menjaga kedaulatan Hutan Tahawa. Hutan yang menjadi rumah kelasi, monyet, owa, kucing hutan, kukang, beruang, orangutan dan lain-lain. Juga aneka burung endemik Kalimantan misalnya tete mayat, luntur putri, rangkong gading, cengkareng dll.
Hutan yang menjadi denyut nadi perekonomian masyarakat Dayak dari HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) dari zaman leluhur hingga kini. Masyarakat mengambil rotan, getah kayu, buah-buahan dan juga menyandarkan diri pada kekuatan leluhur yang akan melindungi hutan dan kehidupan.
Catatan redaksi:
Lima hari setelah wawancara untuk artikel di atas, ketika tim masih melanjutkan Ekspedisi Hutan Hijau Kalteng (16-26 Februari 2024), Sadtata Noor Adirahmanta dilantik menjadi Kepala Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Kalimantan Barat (23/02/2024). Redaksi Hutan Hijau mengucapkan selamat atas promosi jabatan tersebut. Semoga semakin banyak inovasi untuk konservasi.