Melawan arus, menjadi berbeda, memerlukan energi yang luar biasa. Energi itu datang dari bakti pada para leluhur, harapan masa depan, dan kebahagiaan kecil dari yang berterima kasih padanya. Ini kisah Tugas B. Sia, dibilang gila karena menjaga hutan.
“Pak Tugas itu gila orangnya apa, kok bisa habis-habisan bikin tempat itu jadi tempat obyek kunjungan. Saya mungkin memang orang gila,” kata Tugas sambil tersenyum. Ia duduk di depan karamat yang terletak di hutan Desa Ramah Satwa Tahawa, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Bangunan kayu sederhana yang menandai area sakral bagi Suku Dayak ini dibangun secara swadaya oleh Tugas dan warga Desa Tahawa.
Suku Dayak dilahirkan dari rahim hutan. Kehidupan mereka tak lepas dari hutan. Sejak nenek moyang, Tugas dan warga desa memanfaatkan hutan dengan mengambil getah jelutung, rotan, madu, dan lain-lain. Hampir semua warga desa dulu merupakan penebang kayu. Mereka mengambil kayu dari hutan untuk membuat rumah. Hal tersebut sudah dilakukan turun temurun namun tak menjadikan hutan terdegradasi sebab masyarakat hanya mengambil untuk kebutuhan sendiri. Sedangkan kecepatan hutan menumbuhkan diri lebih tinggi dibanding kecepatan masyarakat menebang. Masyarakatnya pun tak banyak, mengambilnya pun sedikit.
Sampai suatu saat, datanglah industri kayu dan konsesi hutan. Di sinilah titik awal perubahan fungsi hutan. Kecepatan menebang kayu jauh lebih tinggi dibanding hutan memulihkan diri dan upaya pemulihannya. Bahkan kemudian, ketika hutan dikelola oleh negara, masyarakat yang menebang kayu untuk membangun rumah menjadi ilegal.
“Hutan makin lama makin habis. Kami tidak punya hutan lagi,” katanya. Ikatan dan bakti yang tulus pada leluhur menggerakkan hati Tugas dan warga untuk menjaga hutan, menjaga rumah leluhur. Dari sanalah upaya “gila” ini dimulai.
“Saya tidak apa-apa itu menurut versi mereka (saya gila). Tetapi saya bisa membuktikan nanti kamu tahu apa maksud dan tujuan saya seperti ini,” kata Tugas.
Ia menyimpan harapan bahwa hutan yang ada sebagai rumah leluhur masa lampau, dinikmati kini, dan menjadi warisan untuk anak cucu mendatang. Pemikiran yang jauh ke depan ini harus dimulai.
Dari Pembalak Hutan jadi Penjaga Hutan
Ia memulai dengan diri sendiri yang tidak mengambil kayu dari hutan. Kemudian mengajak beberapa tetangganya dan orang-orang untuk tidak lagi menebang pohon. Tentu saja, upaya ini sangat tidak dimengerti ketika banyak masyarakat hidup dari bisnis kayu.
Kemudian, ia membangun ekowisata sederhana. Warga Tahawa menjaga hutan menjadi tempat tetirah. Beberapa orang mulai berkunjung untuk berlibur. Hal ini menjadi titik terang bagi Tugas meski perjalanan masih jauh. Selama itu pula, ia terus bersitegang dengan orang-orang yang menebang pohon.
Upaya Tugas ini didukung oleh pemerintah setempat dalam hal ini Dinas Kehutanan Kalteng dan Dinas Lingkungan Hidup Kalteng sebagai pemangku wilayah. Juga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng yang punya kepentingan untuk hutan wisata meski pengelolaan tetap dikelola mandiri oleh warga. Warga berswadaya membangun berbagai fasilitas sederhana untuk pengunjung hingga gerbang untuk pengamanan hutan.
Kekuatan pengelolaan menjadi bertambah ketika tahun 2020, ketika hutan seluas 998Ha dari luas Desa Tahawa 4.153,250Ha ditetapkan menjadi Hutan Desa dari skema pengelolaan perhutanan sosial dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Tugas pun ditunjuk menjadi ketua LPHD (Lembaga Pengelolaan Hutan Desa).
Kebahagian Kecil dari Kata “Terima Kasih”
Meski pengunjung belum banyak dan belum menghasilkan keuntungan secara ekonomi, harapan menjadikan Hutan Tahawa tetap berdaulat mulai mewujud. Upaya Tugas tak sia-sia. Kebahagiaan-kebahagiaan kecil pun ia dapatkan ketika satu demi satu para peneliti yang datang ke Tahawa meraih berbagai gelar kesarjanaan. Penelitinya pun bukan hanya mahasiswa Indonesia, tapi juga peneliti dari luar.
“Sudah beberapa negara juga sudah datang ke sini. Baik melakukan pekerjaan, mereka melakukan penelitian sekolah. Ada yang pengambil S1, S2, S3 di sini. Jadi banyak. Kemarin saya ditelepon dari Surabaya. ‘Pak saya lulus, Pak.’ ah itu saya senang dia dapat S2 dari sini,” kata Tugas. Ada nada haru dalam kalimatnya. Begitu juga ketika ia menyebut Christine, peneliti dari Amerika yang meneleponnya karena telah mengadakan penelitian di Tahawa.
Selanjutnya, atas inisiasi Sadtata Noor Adirahmanta, Kepala BKSDA Kalteng (2022-2024), Desa Tahawa dijadikan desa ramah satwa. Tempat untuk pelepasliaran satwa. Hal ini relevan dengan kultur masyarakat Tahawa yang sudah punya kebiasaan hidup dengan satwa, termasuk satwa liar. Mereka berbagi ruang dan tidak merasa saling mengganggu.
Oleh sebab itu, Tugas dan masyarakat menyambut baik. Semua bersinergi sehingga pada November 2023, Desa Ramah Satwa Tahawa diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, yang langsung datang ke Tahawa bersamaan dengan Hari Konservasi Alam Nasional 2023.
Kini, Tahawa akan berbenah. Ada beberapa rencana yang akan dilakukan untuk mengembangkan Tahawa sebagai rumah semua makhluk. Pohon, satwa, manusia, dan roh leluhur yang menjadi kekuatan daulat Tahawa.
“Biaya yang hilang saya tidak memikirkan hal itu. Tetapi saya merasa hidup saya harus berbuat, ada peninggalan yang artinya ya kita tinggalkan yang baik untuk semua orang. Kalau untuk uang dan harta itu, bisa kita cari kemudian. Apa besok datang sekarang pergi. Jadi kebaikan dan manfaat bagi semua orang itu yang harus kita tinggalkan ya seperti itu,” kata Tugas menutup obrolan kami.
Setelah ia hening sejenak, berdoa, atau berkomunikasi dengan leluhur, Tugas mengajak Hutan Hijau berkeliling Hutan Desa Tahawa. Mengisahkan tentang kelelawar yang tak sebanyak tahun kemarin. Musim buah yang bergeser dari kalender musim yang ada. Kata perubahan iklim terasa masih asing ketika kami menyinggungnya. Tapi hal yang dilakukan Tugas adalah nyata. Ia menjaga hutan, memberi sumbangan nyata pada upaya menurunkan suhu bumi sehinga bumi lebih lama layak huni.