Tak lama setelah persiapan beragam sesajian dengan sesajen utama berupa kerbau, kabut menyaput Desa Ranupani. Biru warna langit tak lagi tampak. Berganti warna kelabu. Di panggung utama yang didirikan persis di mulut pintu utama menuju Ranu Pani, seperangkat gamelan tertata rapi. Dua orang warga desa sibuk meletakkan sejumlah dupa di bagian kepala kerbau.
Malam sebelumnya, rangkaian upacara Unan-unan sudah dilaksanakan. Selain seremonial, di dalamnya ada doa bersama dari pemuka agama. Penduduk Ranupani yang menganut agama Islam sebanyak 83,7 %, penganut Hindu 14,4 %, Kristiani 1,8 % dan sisanya memeluk agama Budha. Meski demikian, sebagai warga Tengger yang lebih dari 75 % penduduknya hidup dari bercocok tanam itu, mereka tetap menjalankan ritus atau upacara yang ditransmisikan oleh nenek moyang. Dua selainnya adalah Yadnya Kasada dan Yadnya Karo.

Desa Ranupani berada di lereng Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 mdpl. Secara administratif Desa Ranupani terletak di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Berada di atas ketinggian 2.200 mdpl dengan luasan sekitar 3.578,75 hektare. Desa yang kerap diselimuti kabut dan berhawa dingin dengan rentang suhu -4 hingga 24 derajat Celsius.
Berarak Menuju Punden
Di tengah balutan kabut, sekitar jam 9.30 WIB prosesi arakan mulai bergerak. Sesaji utama berupa kerbau dan ragam sesaji lainnya berada di barisan paling depan. Menyusul di belakangnya adalah Romo Dukun Desa Ranupani yang dikuti kemudian oleh perangkat desa setempat, pejabat kabupaten dan warga desa. Jarak punden atau tempat keramat desa relatif tak jauh dari lokasi titik gerak di depan balai desa. Tidak sampai satu kilometer. Lokasinya berada di sebuah punggungan tak seberapa luas yang dikepung oleh perladangan penduduk.
Di punden yang ditandai oleh bangunan cungkup sederhana, sesajian digelar dan diletakkan sesuai urutan. Dalam ritual Wong Tengger, dikenal adanya Panca yadnya atau lima yadya. Yadnya dalam pemahaman Hindu diartikan sebagai salah satu usaha untuk mencapai kehidupan yang serasi dan harmonis di alam semesta. Relasi harmonis antara manusia dengan Sang Hyang, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Panca Yadnya termanifestasi dalam ragam sesaji bernama: Resi Yadnya, Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Butha Yadnya. Di depan sejumlah Yadnya itulah Romo Dukun Bambang Sutejo, disertai dengan pembantu dan para pengiring duduk bersila menghaturkan puja, membaca mantera dan menaikkan doa di tengah kepulan asap dupa.

Karena luasan yang terbatas di lokasi punden dibandingkan dengan jumlah warga yang ikut dalam iring-iringan, haturan ke dalam punden diwakilkan kepada para pengurus RT dan RW. Setelah didoakan dan mendapatkan percikan air suci, ragam sesajian lalu dibagikan kepada warga. Baik itu berupa makanan dan minuman maupun berupa hasil bumi lainnya.
“Unan-unan adalah upacara lima tahun sekali yang dilakukan oleh Wong Tengger untuk nylameti sak lumahing bumi, sak kurepe langit,” kata Romo Dukun Bambang Sutejo kepada Hutan Hijau (23/04) di sekitar punden seusai memimpin upacara. Artinya Unan-unan adalah upacara untuk harmoni, keselarasan dan kesejahteraan seluruh alam semesta.
Sony Sukmawan dan Rahmi Febriani dalam buku Upacara Unan-unan Tengger: Membentang Kearifan Ekologis, Mewujud Keselarasan Kosmis menyebutkan, bahwa masyarakat Tengger tidak hanya menyelamati alam fisik yang terindera. Waktu juga menjadi bagian penting yang perlu diselamati. Unan-unan secara keseluruhan mengupacarai hari, pasaran, wuku, maulu, paguron dan bedangon yang mengalami pengurangan dalam proses perhitungan penanggalan tengger (mecak). Segala bentuk kekurangan ini harus digenapkan atau disempurnakan untuk pada akhirnya dapat meraih keselarasan kosmis.